Oleh: Ni’amul Qohar
Pulau Sumatera dalam sejarahnya tidak pernah kehabisan tokoh-tokoh pejuang hebat dari kaum perempuan. Sebut saja Rasuna Said, Rahma El Yunusiyah, Rohana Kudus, Cut Nyak Dien, dan yang tak kalah hebatnya adalah Laksamana Malahayati, pahlawan nasional dari Aceh yang menjadi perwira angkatan laut dengan gagah berani melawan penjajah. Nama aslinya Keumalahayati yang mana dalam bahasa Aceh memiliki arti sebuah batu yang indah bercahaya, banyak khasiatnya serta mengandung kesaktian. Mungkin karena terlalu panjang, akhirnya ia lebih akrab disapa Malahayati.
Laksamana Malahayati secara garis keturunan berasal dari darah biru, ayahnya bernama Laksamana Mahmud Syah, sedangkan kakeknya dari jalur ayahnya adalah Laksamana Muhammad Said Syah putra dari Sultan Salahuddin Syah, yang memerintah Kerajaan Aceh Darussalam sekitar tahun 1530-1539 M. Sesuai catatan sejarah yang ada mengenai tahun kelahiran serta wafatnya Malahayati belum diketahui secara pasti, hanya saja yang dapat dipastikan bahwa Malahayati hidup sekitar akhir abad ke-15 atau awal abad ke-16 Masehi.
Seperti kata pepatah, buah tidak jauh dari pohonya, sosok Malahayati tumbuh dengan jiwa baharinya yang telah diwarisi oleh sang ayah dan kakek yang merupakan sosok pelaut gagah serta pemberani. Ketika pada tahun 1567 M, Sultan Selim II dalam Pemerintahan Usmaniyah Turki mengirimkan bantuan kepada Kerajaan Aceh Darussalam berupa persenjataan, tenaga ahli militer dan insinyur perkapalan, maka dibangunlah Akademi Militer dengan diberi nama Mahad Baitul Maqdis, yang terdiri dari jurusan Darat, Laut dengan para intrukturnya dari Turki.
Tentu saja kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Malahayati yang memiliki jiwa bahari tinggi, maka ia masuk menjadi Taruna di Akademi Militer jurusan Laut. Di tempat ini pula Malahayati dipertemukan oleh seorang perwira laut yang lebih senior darinya, sehingga berlanjut sampai di pelaminan. Pasangan suami-istri ini akhirnya menjadi Perwira Tinggi Angkatan Laut Aceh yang gagah berani dalam setiap pertempuran laut untuk melawan penjajah.
Panglima Armada Inong Balee
Di masa pemerintahan Sultan Alaiddin Riyat Syah Al Mukammil (1589-1604 M), terjadi sebuah pertempuran laut yang dahsyat antara Armada Selat Malaka Aceh melawan Armada Portugis. Peristiwa ini dikenal dengan pertempuran Teluk Haru yang dipimpin langsung oleh Sultan Al Mukammil dengan dibantu dua orang Laksamana. Akhirnya kemenangan diraih oleh Armanda Selat Malaka Aceh dengan ditandai hancurnya Armada Portugis, namun mereka harus kehilangan dua orang Laksamana Aceh beserta 1000 prajurit yang syahid di medan perang. Dua laksamana tersebut salah satunya suami Laksamana Malahayati.
Mendengar berita kemenangan Armada Selat Malaka Aceh membuat hati Malahayati bercampur-aduk antara perasaan sedih serta bangga atas perjuangan suaminya yang telah berhasil mengalahkan penjajah. Guna meneruskan perjuangan sang suami, Laksamana Malahayati mengajukan permohonan kepada Sultan Al Mukammil untuk membentuk Armada Aceh dengan prajuritnya para wanita janda yang telah ditinggal suaminya gugur dalam pertempuran Teluk Haru.
Sang Sultan Al Mukammil mengabulkan permintaan Malahayati yang sekaligus diangkat menjadi Panglima Armada Inong Balee yang artinya Armada Wanita Janda yang menjadikan Teluk Lamreh Kreung Raya sebagai pangkalannya. Waktu awal dibentuknya, Armada Inong Bale memiliki sekitar 1000 anggota prajurit janda muda. Kemudian terus bertambah menjadi 2000. Menurut Ali Hasjmy, sejarawan Aceh, prajurit Inong Balee tidak hanya terdiri dari janda-janda muda, melainkan gadis-gadis muda juga turut serta menjadi prajurit.
Menumpas Cornelis de Houtman
Pada tanggal 21 Juni 1599 M Armada Dagang Belanda yang dipersenjatai dengan kapal perang di bawah pimpinan dua bersaudara Cornelis de Houtman dan Frederijk de Houtman telah memasuki pelabuhan Banda Aceh. Kedatangan Armada Dagang Belanda diterima dengan wajar sebagaimana layaknya kapal dagang negara sahabat. Namun di pertengahan perjalanan hubungan dagang tersebut, Cornelis de Houtman dan Frederijk de Houtman menghianati kepercayaan sultan. Mereka berusaha membuat manipulasi dagang, membuat kekacauan, menghasut dan lain sebagainya.
Hal seperti ini tentu tidak bisa dibiarkan begitu saja, akhirnya sang sultan mengambil jalan tegas dengan menugaskan kepada Panglima Armada Inong Balee Laksamana Malahayati untuk menyelesaikan prahara tersebut. Armada Inong Balee menyerbu kapal-kapal Belanda. Pertempuran satu lawan satu terjadi di atas geladak kapal-kapal Belanda. Cornelis de Houtman mati ditikam oleh Laksamana Malahayati sendiri dengan rencongnya, sementara Frederijk de Houtman menjadi tawanan.
Marie van Zuchtelen dalam bukunya yang berjudul Vrouwelijke Admiraal Malahayati, sangat memuji sosok Laksamana Malahayati. Menurutnya, Armada Inong Balee terdiri dari 2000 prajurit wanita. Ia belum menemukan ada seorang wanita di dunia ini yang menjadi Panglima Armada seperti Laksamana Malahayati yang gagah serta pemberani melawan penjajah.
Daftar Pustaka
Salam, Solichin. 1995. Malahayati Srikandi Dari Aceh. Jakarta: CV Gema Salam.