KH. Ahmad Bahauddin Nursalim, atau yang biasa disapa Gus Baha, menjelaskan makna Isra’ Mi’raj dengan perpesktif yang sangat menarik. Pertama ia menguraikan asbabun nuzul Surah Al-Isra’ ayat 1 yang berbunyi,
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Artinya: “Maha-Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari al-Masjidil Haram ke al-Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha-Mendengar lagi Maha-Mengetahui.” (QS Al-Isra’: 1)
Menurutnya, mayoritas para ulama sepakat bahwa peristiwa Isra’ Mi’raj merupakan sebuah pelipur lara dari Allah SWT kepada Rasulullah SAW, seperti yang tertera di dalam setiap asbabul nuzul ayat tersebut. Pelipur lara ini terjadi ketika Nabi Muhammad SAW baru saja kehilangan dua orang yang selama ini memberikan dukungan dan perlindungan atas dakwah islam-nya, yakni Sayyidina Abu Thalib dan Sayyidah Khadijah. Sayyidina Abu Thalib adalah pamannya, seorang bangsawan Arab dari suku terhormat bernama Quraisy, yang menjadi satu-satunya penjamin keselamatan Nabi Muhammad SAW dari ancaman kafir Makkah. Sementara itu, Sayyidah Khadijah adalah istri tercinta yang menjadi penopang dakwah Nabi Muhammad SAW, baik secara finansial maupun non-finansial.
Gus Baha menjelaskan bahwa periode Makkah merupakan masa tersulit bagi Nabi Muhammad SAW, karena beliau minoritas yang hidupnya sehari-hari selalu dikucilkan. Sayyidina Abu Thalib dan Sayyidah Khadijah merupakan dua orang yang memberikan dukungan moral dan material terhadap Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu, wafatnya kedua orang tersebut pada tahun yang sama dikenal sebagai ‘âmul huzn atau tahun duka.
Secara psikologis manusiawi, kehilangan dua orang yang sangat penting dalam kehidupannya membuat kejiwaan Nabi Muhammad SAW terguncang. Tekanan psikologis Nabi Muhammad SAW berawal dari masyarakat Arab yang sudah banyak terpengaruh oleh propaganda pembesar Yahudi dan Nasrani.
Waktu itu masyarakat Arab yang dikenal sebagai orang bodoh (jahiliyyah) serta tidak terpelajar, membuatnya sangat mudah untuk dikelabuhi para pembesar Yahudi dan Nasrani. Karena para pembesar Yahudi waktu itu dijadikan sumber konsultasi masyarakat Arab, maka mereka menjadi yakin atas doktrin mitos yang diembuskan.
Apa mitos itu? Mitosnya adalah tidak mungkin jika ada nabi utusan Allah SWT yang lahir di luar garis keturunan Bani Israil. Karena nabi-nabi terdahulu tidak jauh-jauh dari Palestina, seperti Nabi Ibrahim AS, Nabi Isa AS, Nabi Yahya AS, Nabi Zakariya AS, dan Nabi Musa AS, semuanya berasal dari komunitas Masjidil Aqsha. Karena virus hoaks tersebut, ketika Nabi Muhammad SAW memproklamasikan diri mendapatkan wahyu dari Allah SWT, para kafir Makkah tidak mempercayainya.
“Hai Muhammad, semua nabi berasal dari Palestina. Jika kamu benar-benar seorang nabi, apakah kamu tahu ke arah mana masjid itu menghadap dan berapa banyak tiang di Masjid Al-Aqsa?” Atas pertanyaan tersebut, Allah SWT mengasah intelektual Nabi Muhammad SAW melalui proses isra’. Sehingga akhirnya beliau dapat menjawab dengan pasti bahwa jumlah tiang di Masjid Al-Aqsa adalah sekian, serta memberikan penjelasan tentang wajah dan perilaku para nabi terdahulu seperti Nabi Musa AS dan Nabi Ibrahim AS.
Hal ini menunjukkan bahwa selain menghadapi ujian fisik seperti dicaci maki, dilempari batu, dan bahkan tinja, Nabi Muhammad SAW juga diuji secara intelektual. Ujian ini dimulai sejak periode Makkah hingga Madinah.
Selama perjalanan Isra’, Nabi Muhammad SAW tidak hanya menjalankan proses spiritual yang membuahkan syariat shalat lima waktu, tetapi juga pengasahan inteletualitas. Dalam perjalanan tersebut, beliau bertemu dan berdiskusi dengan sejumlah nabi, termasuk Nabi Ibrahim AS dan Nabi Musa AS. Peristiwa seperti ini dikenal sebagai tradisi menyambung sanad. Di kalangan pesantren, tradisi ini dikenal dengan sanad muttashil. Jika sanad terputus, maka akan terjadi penyimpangan yang merusak.
Setiap nabi harus memiliki platform atau karakter yang sama dengan nabi-nabi lain dengan cara bertemu secara langsung. Dalam perjalanan Isra’, Nabi Muhammad SAW diperkenalkan pada karakter-karakter nabi terdahulu, yang juga diceritakan dalam Al-Qur’an. Dengan cara ini, beliau bisa menyelaraskan kebijakan dan pola pikirnya dengan nabi-nabi terdahulu (mushaddiqan limâ baina yadaih), sehingga dapat meningkatkan pendidikan intelektual yang dimilikinya.
Mengapa dalam Al-Qur’an seringkali diceritakan kisah para nabi terdahulu secara berulang kali? Tujuannya adalah untuk membentuk karakter Nabi Muhammad SAW agar sejalan dengan karakter para nabi terdahulu dan tidak menyimpang dari ajaran mereka. Metode ini kemudian diikuti oleh para guru kami di pesantren. Mereka meniru metode dan gaya pengajaran yang diterapkan oleh guru-guru sebelumnya. Sebagai contoh, meskipun hanya ada dua santri, seorang guru tetap harus mengajar dengan konsisten.
Oleh: Ni’amul Qohar